Pages

Selasa, 05 Agustus 2014

Burung Hati

BURUNG HATI
                Untuk pertama kalinya aku satu project dan satu deadline dengannya. Hal itu membuatku harus berangkat kekantor lebih awal untuk menyelesaikan project itu dengan dia. Yap! Dia yang membuatku selalu merasa nyaman ketika didekatnya, dia yang selalu membuatku tersenyum lebar ketika mata kami saling bertatapan. Dan dia yang terus aku rindu sosoknya dikehidupan mimpi dan kenyataan. Karena jujur, terus bersamanya ada kebahagiaan yang berbeda.
Aku berjalan menuju ruang kerjaku dengan langkah yang tergesa-gesa. Saat sampai di ruang kerja, kulihat dia belum ada di mejanya. Akupun segera melirik jam yang melingkar ditanganku, ternyata saat itu jarum jam masih menunjukkan pukul setengah 9 pagi. Dia memang terbiasa datang kesiangan, tapi ini lagi deadline, tak masuk akal jika dia tetap datang kesiangan. Teringat perihal pekerjaan yang banyak, akupun segera menghidupkan komputer, dan jariku mulai lincah bergerak-gerak diatas keyboard, mencoba sejenak melupakan kekuatiran yang ada dan fokus bekerja. Tiba-tiba aku merasakan jemari seseorang menyentuh bahuku. Aku menengok kesamping. Ternyata dia yang datang. Dia memandangku dengan senyum yang, Ah! Selalu membuatku meleleh. “Rajin banget”

“Kan lagi dikejar deadline” ku pasang bibir dengan senyum paling tulus, sambil kemudian memutar bangku agar bisa duduk berhadapan dengannya

“Oh iya deadline” dia menepuk jidatnya, menarik nafas, kemudian melayangkan pandangannya kearahku “Nanti aja ya ngobrolnya” dia berlalu dari hadapanku dan mulai berhadapan dengan komputernya. Tapi aku tak menanggapi ucapannya, aku justru duduk disampingnya, melihat dia bekerja sambil memangku dagu, ku telusuri sinar yang memancar dari matanya, ku bayangkan andai mata itu melihat mataku, pasti dia akan tau semua isi hati yang selama ini menguap, berusaha menunjukkan ada rasa yang berbeda.

Tiba-tiba dia melepas headset yang ada di telinganya, kemudian dia juga memangku dagunya-sama persis seperti aku. “Ada apa, Arti?” katanya lirih dan terdengar sangat lembut di telingaku

“Enggak ada apa-apa” jawabku gelagapan, seperti orang yang tertangkap basah sedang memperhatikan sesuatu “Aku boleh tanya gak, Mas?” aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Dia kembali menatapku, mengangguk setuju lalu kembali menatap layar komputernya.

“Kamu udah punya pacar?” tanyaku dengan nada sedikit terbata-bata

Dia tersenyum tapi tak menatapku, “Belum kok” pandangannya masih terus menatap layar komputer, dan jari-jarinya masih terus menari lentik diatas keyboard. Seharusnya, dia menatapku, meyakinkanku dengan jawabannya, tapi tak akan menjadi masalah jika jawabannya begitu.

Aku berusaha menyembunyikan tawa di bibirku dengan tanganku, namun ternyata semakin kututupi semakin aku tak kuasa menahan perasaan gembira yang seakan ingin meloncat dari dalam hati. Akhirnya akupun memutuskan untuk beranjak kembali ke meja kerjaku-aku takut salting didepannya. Dia yang sibuk, hanya menatapku dengan hangat, seakan mengerti maksudku berpindah. Tawaku meledak-ledak ketika aku sampai di mejaku. Berkali-kali aku mencoba mengatur nafas, menahan kegembiraan ini. Jawabannya tadi membuatku semakin yakin dengan perasaanku. Iya, aku jatuh cinta. Maksudku, ada cinta yang tumbuh tiba-tiba, diam-diam. Aku tak pernah setuju ketika ada orang berkata bahwa ia jatuh cinta. Karena menurutku, cinta itu tumbuh, bukan jatuh. Seperti tumbuhan, semakin tumbuh semakin indah. Begitu pula dengan cinta. Sangat sederhana.

Kadang deadline memang suka membuat para karyawannya pulang larut malam, bahkan dini hari. Aku memang terbiasa pulang malam, tapi untuk larut malam? Aku tak pernah berani. Jika memang tak ada teman untuk jalan pulang, aku lebih memilih tidur dikantor. Tapi beruntunglah aku untuk deadline kali ini.

"Kamu emang gak pengen kuliah, Ar?" dia membuka percakapan

"Pengen sih Mas, tapi masih di alam pemikiran" jawabku sambil tertawa kecil "Habisnya kalo dipikir-pikir nanti lulus kuliah itu aku udah umur 24, tua banget"

"Kamu takut ketuaan buat nikah ya?" dia tertawa lepas, sedangkan aku menekuk bibirku sambil mengerutkan dahi "berarti nikah dulu aja baru kuliah"

"Mau nikah sama siapa, pacar aja belum punya" aku mencoba memberi 'kode' dengan malu-malu. Tapi dia hanya tertawa, tak membalas pernyataanku bahkan 'kode' ku. Sampai langkah kaki menggantikan suara tawanya hingga aku dan dia berada didepan gerbang kos ku.

"Thanks ya, Mas. Udah repot-repot nganterin pulang" ucapku penuh senyum

"Sama-sama. Lain kali jangan tidur dikantor lagi ya? Kalo enggak berani pulang sendiri, sms aja. Nanti aku anterin pulang. Udah cepet istirahat sana"

"Iya siap! Kamu cepet istirahat juga ya, Mas. Hati-hati" aku mengusap bahunya. Dia mengangguk sambil melambaikan tangan, lalu berjalan pulang.

Perasaanku melayang, bibirku terus melengkung keatas. Inikah cinta? Membahagiakan sekali.

-oOo-

                Sejak saat itu hari-hari dihidupku jadi berwarna. Aku yang terbiasa ke kantor sendirian penuh kedinginan, kini ditemani genggaman tangan dan tatapan kehangatan. Aku yang selalu pulang malam memandang langit hitam pekat karena mendung, kini tidak lagi. Langit malamku sudah berbintang. Semua mengalir begitu saja, terjadi begitu saja. Bahkan kini aku terbiasa menunggunya didepan gerbang kos. Dan dia, terbiasa memutari komplek hanya agar melewati depan kos ku. Kini aku juga terbiasa menggenggam tangannya, padahal dulu kami saling bergenggaman tangan ketika hendak menyebrang saja.
Hingga malam itu, malam kesekian kalinya aku dan dia menyusuri setiap lorong kantor bersama-sama sampai dilantai dasar untuk absen. 

“Mau ngopi dulu gak mas? Atau mau langsung pulang?” tanya ku ketika kaki nya mulai menuruni anak tangga untuk meninggalkan kantor

“Ngopi didekat lampu merah? Asik tuh kayaknya” Kami pun setuju untuk ngopi dulu sebelum akhirnya berjalan pulang.

Aku memang sengaja mengajaknya tak langsung pulang. Karena jujur, aku merasa ada yang aneh dengannya hari ini. Dia lebih sering terlihat murung, seperti ada masalah. Bahkan disepanjang perjalanan menuju kedai kopi, dia masih murung. Dia memang tetap mengajakku bercanda disepanjang perjalanan menuju kedai kopi, tapi aku merasa itu hanya caranya menutupi perasaan hatinya. Mungkin bibir bisa bohong dengan senyumnya, tapi mata tak pernah bisa bohong dengan sinarnya. Aku berharap, dia mau membagikan sedikit beban masalahnya itu.

“Mbak kopi 2 ya” pesanku pada salah satu waitress

“Kamu suka ngopi juga ya?” tanyanya. Kata temanku, jika ada seorang pria mulai ingin tahu tentang dirimu, kebiasaanmu, bisa jadi dia tertarik kepadamu. Tapi untuk kali ini, sepertinya dia hanya tak ingin terlihat punya masalah

“Suka!” sahutku lantang “tapi enggak maniak. Kalo kamu?” aku mencoba tetap terlihat seperti biasanya, meski hati ku terus bertanya-tanya, ada apa dengan orang yang aku cintai.

“Suka banget” dia tersenyum

“Aku enggak maniak sama kopi karena menurutku, rasa alami kopi bakal ilang kalo kita keseringan mengkonsumsinya. Akhirnya nanti bosen deh” mata kami bertemu beberapa detik. Aku merasakan kehangatan dari tatapannya, mungkin karena aku punya perasaan dengannya.

Tiba-tiba dia bertepuk tangan “Super sekali” sambil tertawa.
Aku terkejut, Sial ! hampir saja aku terjatuh dari kursi tempatku duduk.

“Kaget ya?” tanyanya polos

“Iya nih. Ah kamu mas, hampir aja aku jatuh dari kursi” jawabku sambil mencubit lengannya

Dia tertawa melihat tingkahku, “Maaf deh” ucapnya seraya mengacak-acak rambutku. Aku hanya mengerutkan dahiku sambil merapikan rambutku.

Dia terdiam, aku yang selesai merapikan rambut juga diam. Dan itu membuat keadaan juga ikut-ikutan diam. Hening. Kami seperti ingin mengutarakan sesuatu tapi saling tersangkut di tenggorokan masing-masing. Seperti ingin menanyakan sesuatu, tapi tak ada kuasa untuk mengatupkan bibir masing-masing. Aku menghela nafas panjang, mencoba mencari cara untuk meraba perasaannya selama ini kepadaku, untuk memancingnya mengatakan sesuatu itu “Kopinya jangan lupa diminum tuh mas, katanya maniak” ucapku sedikit mengejek yang akhirnya memecah keheningan yang datang tak diundang saat itu.

“Iya nih hampir lupa” dia mengambil kopinya, meniupnya sesekali lalu meneguknya pelan-pelan “menurutmu, mantan itu apa, Ar?” Aku langsung menengok ke arahnya, lalu melempar pandanganku kearah kendaraan yang berlalu-lalang.


“Hmm, mantan itu masa lalu” aku menarik nafas “yang boleh diingat, tapi jangan sampai kita terjebak di ingatan itu”

“Dosakah kalau kita sampai terjebak?” aku mendengar suara itu berubah menjadi parau

“Enggak kok” ada yang aneh dengan percakapan ini, sepertinya perasaanku benar kalau dia punya masalah.

Dia menghapus keringat yang ada diwajahnya, mengepalkan tangan dan meletakkannya diatas meja. Matanya lurus memandang mataku, air mukanya berubah, bibirnya terbuka dan dia mulai bercerita tentang mantannya, seseorang yang masih mengisi hatinya hingga saat ini. Sejenak dia berhenti bercerita untuk meneguk minuman kesukaannya-kopi. Lalu meneruskan ceritanya.

“3 tahun terakhir di Malang, aku berulang kali lewat depan gang rumahnya. Tapi tak pernah bertemu dengannya” sambung pria yang masih 1 tahun di Jakarta ini. Dan tanpa sadar dia perlahan membuat lubang di hatiku. Aku hanya bisa diam dan sesekali menepuk tangannya. Dia mungkin terlalu fokus dengan ceritanya, hingga dia tak menyadari, mataku mulai berkaca-kaca, sulit menelan kenyataan bahwa orang yang kita cintai masih mencintai masa lalunya, sakit.

“Aku udah berusaha menjadi lebih baik dari sebelumnya. Aku juga udah menunjukkan perubahanku ke dia. Aku udah sabar nunggu dia. Tapi dia tetap, tak kembali kepadaku” tiba-tiba dia menggenggam kedua tanganku “Aku harus gimana lagi, Ar?”

Mungkin ini yang membuatnya murung seharian, mungkin ini yang membuatnya berbeda seharian. Mungkin ini beban beratnya. Aku hanya terdiam, aku masih menunggu ceritanya lagi. meski lubang dihati ini semakin besar, tapi aku yakin beban miliknya akan semakin kecil.

"Dia belum punya pacar, mungkin dia juga menungguku. Tapi kenapa dia tak kunjung kembali ketika dia tahu kalo aku juga menunggunya" kurasakan genggaman tangannya semakin erat, kudengar suaranya semakin parau, ku tatap matanya semakin gelisah "Ar, jika kamu diposisiku. Apa yang kamu perbuat?" sambungnya

Aku memang diposisi mu mas, kita sama. Sama-sama menunggu. Aku menunggumu, kamu menunggu mantanmu. Aku menunggumu membuka pintu, sedangkan ternyata kamu malah menunggu didepan pintu mantanmu. Aku terdiam beberapa detik, lalu aku mencoba menarik nafas dan memejamkan mataku sebentar. Ku beranikan diri menatap mata yang sinarnya hampir meredup itu. Ku beranikan diri menjawab pertanyaannya itu.

“Kadang kita terlalu sibuk berlalu-lalang. Memandang, menunggu satu pintu yang kita inginkan itu terbuka. Tanpa kita sadari, kesibukan kita membuat pintu lain yang sudah terbuka itu menjadi tertutup” aku melepaskan genggaman tangannya, dan aku berbalik menggenggam erat tangan pria itu “Ada banyak pintu yang terbuka buat kamu, Mas. Jangan berpacu hanya pada satu pintu. Mungkin dipintu lain, kau akan temukan kebahagiaan yang berbeda” kulepaskan genggamanku, ku tepuk tangannya. 
Ku pandang mata itu, mata yang masih penuh dengan kegelisahan ditambah dengan jawaban dariku yang mungkin belum dia mengerti apa maksudnya, lalu aku meneguk habis kopi ku yang sudah hampir dingin.

Dan akhirnya aku memutuskan untuk pulang duluan, bukan karena aku tak lagi ingin bersamanya, tapi aku tak lagi ingin mendengar ceritanya. Kasihan hatiku.

-oOo-

                Aku berjalan menuju kos, sendirian. Mencoba mengerti ini semua harus dilalui. Aku kira waktu itu hatinya kosong dan aku bisa leluasa masuk kedalamnya, aku kira dia punya perasaan yang sama denganku, aku kira semua perhatiannya memang menunjukkan kalau dia tertarik kepadaku, tapi ternyata? Hatinya memang sudah dibuka, tapi bukan untuk aku, hatinya memang kosong, tapi bukan aku yang diminta menghuni. Tiba-tiba air mataku menetes, menghujani pipi dan pelupuk mataku. Semakin ku tahan semakin keras keinginannya untuk menetes, semakin ku usap semakin deras ia mengalir.

"Lalu untuk apa semua ini!" teriakku bercampur dengan suara kendaraan dijalan raya. Aku terduduk didepan ruko yang sudah tutup untuk beberapa menit, aku mencoba menenangkan diriku sendiri. Mencoba mengatur nafas, mencoba berhenti menangis "Aku mencintai orang yang salah" aku tersenyum kecut. Lalu aku melanjutkan berjalan menuju kos.

Sesampainya di kos aku menyandarkan tubuhku yang pegal di sofa sambil menyalakan radio, mencoba menghibur diri sambil mengusap bekas air mata yang menghujani pipiku disepanjang jalan pulang tadi. Aku merasa lebih baik sekarang. Aku merasa lebih lega sekarang.

“Hai, selamat malam berjumpa lagi dengan Ve di 99,9 SuaraFM. Malam ini Ve mau bahas tentang mitos dari melipat 100 burung bangau nih” sapa penyiar radio itu dengan lantang.
Aku pun langsung duduk tegap diatas sofa ketika ku dengar topik yang akan dibawakan oleh penyiar radio malam itu. Terang saja, melipat burung berjumlah 100 tidak asing lagi dipendengaranku. Banyak sekali teman sekelasku dulu yang sibuk melipat burung bangau itu disekolah ketika jam pelajaran kosong.

“Mitosnya, melipat burung bangau ini sampai berjumlah minimal 100, itu tandanya setiap keinginanmu bakal terwujud. Kepercayaan ini muncul dari negara orang-orang bermata sipit, sebut saja negara itu Jepang. Mereka biasanya melipat burung ini dalam jumlah 1000. Wow! Dan mereka percaya bahwa setiap burung yang sudah dilipat dan disimpan dalam toples itu akan membawa setiap mimpi dan keinginan mereka hingga menjadi nyata” 
penyiar radio itu membawakan setiap topiknya dengan menarik, ditambah lagi dengan nada membacanya yang membuat para pendengarnya penasaran. 
Aku mendengarkannya dengan sungguh-sungguh, karena aku tak ingin melewatkan satu kata pun tentang topik ini. Aku terus mendengar dan mencoba menelaah setiap kata demi kata yang ada. Untuk saat ini, burung bangau berhasil membuatku lupa pada perihnya luka dan derasnya air mata.

“Bagi kamu nih, Teeners. Yang mau percaya atau enggak sih, namanya juga mitos, dicoba boleh gak dicoba juga boleh. Bagi yang mau mencoba, silahkan melipat burung bangau ini sampai berjumlah 100, kalau kuat sih sampai 1000” terdengar suara penyiar radio itu terkekeh “kemudian tulis mimpi dan keinginanmu. Baru setelah itu masukin kedalam toples, lebih indah kalo dimasukin botol kaca sih sebenernya. Tapi toples tak kalah menarik lah. Lalu tunggu sampai setiap mimpi dan keinginanmu jadi nyata deh. Sambil melipat-lipat, kita dengarkan lagu milik RAN “Buka Semangat Baru” selamat melipat dan mendengarkan” suara penyiar radio bernama ‘Ve’ itupun perlahan hilang dan ditimpal dengan lagu yang sudah disebut tadi.

Apa benar yang dikatakan penyiar radio itu? Apa bisa mitos dipercayai? Tapi memang tak ada salahnya jika coba,kataku dalam hati.

Aku mengambil kertas lipat yang kebetulan aku beli 2 minggu lalu. Aku mencoba mengingat-ingat cara melipat yang pernah diajarkan temanku sekelas dulu. Akhirnya lipatan pertama berhasil, aku meneruskan lipatanku, satu demi satu lipatan mulai terbentuk, burung demi burung mulai tampak. Aku melipatnya sendirian, aku hanya ingin terlihat berjuang sepenuhnya untuk kali ini, untuk terakhir kali. Setelah aku tahu, perasaan yang ada dihatiku, tak mungkin ada dihatinya. Aku melipat sambil mengingat setiap pagi ku bersamanya, lalu malamku dengannya. 
Aku mengingat bagaimana bahagianya perasaanku waktu itu. Jika diselaraskan dengan kejadian tadi di kedai kopi, rasanya ini tak adil. Aku yang selama ini ada disampingnya, tapi mengapa dia tak bisa melepas mantannya. 
Tiba-tiba mataku terasa panas, aku melirik jam yang masih melingkar ditanganku, bodoh, belum sempat ku melepas jam tapi sudah melipat burung bangau. Dan saat itu memang sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. "Pantas saja mataku panas" ucapku sambil beranjak, bersiap untuk tidur.

-oOo-

                Melipat burung sebanyak itu tidak memakan waktu yang sedikit, apalagi aku melakukannya sendirian. Tapi untuk orang yang aku cintai, apapun itu bukanlah jadi beban :')
Aku tetap melakukan rutinitasku, bekerja. Namun yang membedakan, deadline sudah berakhir. Dan aku tak tau harus senang atau sedih, karena memang ada kisah dikedua perasaan itu-senang dan sedih. Senang, tidak ada lagi yang memaksaku untuk pulang larut malam dan datang pagi-pagi. Sedih, tidak ada lagi yang kutunggu didepan gerbang kos tiap pagi dan tidak ada lagi yang mengingatkanku untuk cepat istirahat dimalam hari, selain diriku sendiri. Iya, sendiri. 
Dia tak mencariku saat aku mulai jauh darinya, bahkan ketika dikantor, dia tak punya keinginan untuk menyapa ku lebih dulu. Ketika mata kami saling bertemu karena tak sengaja pun, dia malah membuang muka. Sesekali ku ajak dia untuk makan siang bersama, tapi dia selalu dengan jawabannya "Aku belum lapar, kamu duluan aja" atau justru "Aku tadi udah makan" bukankah seharusnya yang menjauh seperti ini aku ya, Mas? Kenapa malah kamu?

Aku terus mencoba memperbaiki setiap keretakkan diantara aku dan dia. Tak akan jadi nyaman ketika satu kantor, satu ruangan tapi tak saling mengucap salam apalagi mengobrol. Tapi ternyata, tak berubah. Aku berusaha sekuat tenaga menghilangkan retak itu, tapi dia tak pernah menghargainya, dia tak mengimbanginya. Aku berbalik arah, aku mencoba cuek mencoba tak peduli kepadanya. Tapi justru kami seperti orang tak pernah kenal, tak ada yang mau memulai pembicaraan. Memang, banyak hal yang bisa terjadi dalam seminggu.
Semua kejadian dan perubahan sifatnya terus membuatku ingin cepat-cepat menyelesaikan burung-burung ini, aku capek terus terlihat kuat seperti ini. 
Aku ingin segera memberikan lipatan burung ini.

-oOo-

Aku mendatangi dia ke meja kerjanya
"Mas, besok sepulang dari gereja ada acara?"

"Enggak"
Sungguh, menatap mataku saja dia sudah tak ingin. Masih layakkah aku mengharapkan kedekatan?

"Kalo gitu, besok siang aku tunggu didepan kos mu ya, Mas?" aku mengucapkannya begitu lirih, aku takut dia marah

"Mau ngapain?" tanyanya sensi. Tak biasanya dia seperti ini.

"Mau ada perlu sebentar. Besok pulang gereja langsung aku tungguin didepan kos ya mas? Makasih" aku tersenyum lalu beranjak dari meja nya. Dia tak menatapku sama sekali, saat aku beranjak pun dia hanya melihatku dari sudut matanya. Aku tak pernah tau, kata-kata sebelah mana ku yang salah. Aku tak pernah tau tindakan mana ku yang salah, hingga dia seperti ini kepadaku.

Sepulang kerja aku memasukkan 100 lipatan burung itu kedalam botol, tak lupa ku ikatkan sekotak coklat putih disamping botol itu dengan pita berwarna putih. Kenapa putih? Karena putih itu tulus, rela, ikhlas, bersih. Semoga hati ku juga putih setelah ini :')

Esok harinya, seperti janjiku. Sepulang dari gereja aku langsung berdiri didepan kosnya. Berkali-kali aku menelponnya tapi tak diangkat, lebih dari satu sms aku kirim tapi tak ada yang dibalas.

Jangan-jangan dia lupa dengan ajakanku kemarin. Atau jangan-jangan dia sudah tak mau bertemu denganku. Ya Tuhan, sekali ini saja, terakhir ini saja. kataku dalam hati. 

Hampir satu jam aku berdiri didepan kosnya, berlalu-lalang didepan kosnya, mengintip-intip kedalam gerbang kos nya, tapi belum aku temui sosok pria putih dengan alis tebal itu. Aku hampir putus asa, hampir saja aku berbalik arah untuk kembali ke kos. 
TIba-tiba dia membuka gerbang kosnya. Senyumku mengembang, hatiku lega. Walau belum aku berikan, walau belum aku katakan. Tapi muka nya kusut, matanya berlingkar hitam, tak ada senyum disana.

"Baru pulang dari gereja ya, Mas?" aku mencoba membuka percakapan

"Aku enggak ke gereja. Tadi bangun kesiangan" dia menjawab dengan muka datar

Aku hanya mengangguk sambil menengadah kebawah, mencoba mencari bahan pembicaraan.

"Ada perlu apa?" tanya nya kasar. Padahal saat itu aku belum sempat menemukan bahan pembicaraan, akhirnya akupun segera membuka tas ku, mencoba mengeluarkan barang yang sudah aku hias semalam, barang yang aku buat sendiri berhari-hari, dan barang yang selalu membuatku tidur larut malam.
Aku menyodorkan botol berbalut pita putih itu kehadapannya "Ini diterima dulu mas" ucapku lirih.

Dia menerima barang itu, lalu memandangnya penuh keasingan "Buat?"
Aku menelan ludah, mencoba menyisihkan rasa takutku

"Aku udah nyaman sama kamu mas" aku menghela nafas "kalo sekarang aku bilang, aku suka sama kamu, kamu bakal ngedekat, tetap kayak gini, apa justru ngejauh?" aku langsung menundukkan kepala. Aku tak berani menatap matanya, aku takut jawabannya tak seperti yang diinginkan hatiku.

"Selama ini aku ngejauh dari kamu?" ku dengar suasana pasrah dipertanyaannya

"Iya" mata kami bertemu. Ternyata mata itu sudah menatapku dari tadi. Tapi sayang, tatapannya tak sehangat dulu.

"Aku enggak ngejauh kok" jawabnya singkat

"Tapi kamu berubah, sekarang terserah kamu kok mas mau gimana lagi ke aku" aku berhenti menatapnya, mataku memandang kebawah "aku berdoa yang terbaik buat kamu"

Dia hanya diam.
"Cuman mau bilang itu doang kok mas" aku kembali menatapnya "udah, aku pulang duluan ya mas?"
Dia terus menatapku, tapi dengan tatapan berbeda-tatapan yang tak lagi sehangat dulu. "Hati-hati, thanks buat ini"

Aku mengangguk lalu mulai berjalan, dia tak mengejarku. Aku mencoba menengok kebelakang, ternyata dia sudah masuk kedalam kos nya.

"Ah sudahlah, tak ada yang perlu diharapkan" ucapku sambil terus berjalan

"Arti, ayo cepat keburu ditinggal pesawat!" teriak Mama ku. Aku pun segera berlari menghampirinya. 
Mamaku rela capek-capek dari Malang ke Jakarta hanya untuk mengantarku ke Surabaya, tempatku menuntut Pendidikan Pramugari. Iya, Mamaku menyuruhku masuk kesana karena aku sering pulang larut malam saat bekerja di Jakarta. 
Dan aku sebagai anak, hanya berusaha menyenangkan hati orang tua.

Perlahan taksi berjalan menjauh dari tempat kos ku, perlahan berjalan menjauhi tempatku bekerja, dan itu juga perlahan membuatku semakin jauh dari orang yang aku cintai.
Yang terpenting sekarang 100 burung itu kini sudah ditangannya, sudah menjadi miliknya, dan semoga setiap mimpi dan keinginannya bisa terwujud. Walau belum dengan hatiku. Walau tidak dengan perasaanku. Dan yang lebih penting, kini aku tak lagi diam-diam dengan rasa dihatiku , tidak lagi memendamnya tapi telah mengutarakannya. Walau aku tak pernah tau apakah dia sempat punya perasaan yang sama atau tidak. 
Paling tidak, aku sudah sedikit meringankan beban yang ingin dikatakan oleh hatiku sendiri.


"Ini bukan PHP, ini juga bukan cinta yang bertepuk sebelah tangan. Ini hanya perasaan yang ku awali dan ku akhiri, sendiri" - Artikirana Pratiwi, bersama lipatan burung didalam hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar